Pernah kah kalian dapat
pertanyaan, “Gimana udah punya pacar belom?” atau “Wah pasti kamu mantannya
udah banyak ya?” bisa juga “Siapa pacarmu? Gak mungkin kalau kamu jomblo.”
Dan masih banyak lagi pertanyaan yang kurang lebih sejenis nan menggelitik
hati. Kalau kalian merasakan hal ini, yuk tos daring dulu sini! *tos*
Sebenarnya ini bukan
masalah krusial sih, ini hanya sesuatu hal yang kadang aku gak habis pikir aja
dengan orang-orang yang berkata seperti itu. Sakit hati sih enggak, tapi bikin
bertanya-tanya. Kadang saking bingungnya aku, gak jarang aku bermonolog dan
memikirkan sudut pandang orang lain ketika melihatku. Tapi ya, orang-orang gak
pernah cerita sudut pandangnya dia seperti apa ketika melihatku, jadi bagaimana
aku bisa tahu sudut pandang orang lain?
Semenjak aku memikirkan
hal tersebut, gak jarang aku memanipulasi otakku dengan mengatakan, „Mungkin aku gak
secantik itu, jadi mungkin dia cuma bercanda aja tadi” atau “Ya siapa yang mau
sama aku kan, orang pendek, gendut begini” dan “Apaan dah mantan-mantan yang
pdkt aja ga ada. Aneh-aneh aja nih orang.” Hmm.. sebenarnya pemikiran seperti
ini itu tidak sehat sekali. Dannn, baru aja beberapa hari lalu aku mengenal yang
namanya Sindrom Penipu.
Nah, apa itu sindrom penipu? Sindrom penipu atau impostor syndrom adalah perasaan yang
hadir ketika kita mencapai sebuah prestasi tertentu, namun kita merasa tidak
berhak menerimanya dan hanya menganggapnya sebuah kebetulan/keberuntungan. Nah,
ini yang mengakibatkan orang tersebut merasa menjadi “penipu” karena
prestasinya hanya sebuah kebetulan. Hal itu juga yang membuat orang ini bekerja
ekstra keras daripada yang lain, bahkan bisa dikatakan dia adalah orang yang
perfeksionis. Tujuannya hanya satu, dia ingin membuktikan bahwa dia bukan penipu
maka prestasi yang didapatkan harus dari kerja kerasnya. Namun, tiap kali dia
mendapatkan prestasi pemikirannya tetaplah merasa bahwa itu adalah
keberuntungan saja. Ini lah sindrom penipu. Gak jarang orang dengan sindrom ini
terlalu memaksakan diri sendiri, sehingga mereka bisa menderita penyakit mental
seperti anxiety disorder, dll. Mereka
juga takut akan kegagalan dan ketidakpastian masa depan.
Sindrom penipu ini lahir
bisa dari mana saja antara lain; pengalaman masa kecil, masalah di masa lalu,
pengalaman dengan guru atau keluarga, dan masih banyak lagi. Lalu apakah aku
juga bagian dari mereka? Hmm... aku memang pernah merasakannya ketika masa SMA
dan bangku perkuliahan. Ketika orang lain memandangku pintar karena aku bisa
pergi ke Jerman, sebenarnya hati dan pikiranku hanya mengatakan bahwa semua ini
hanya keberuntungan tidak lebih. Aku tidak merasa benar-benar berhak mendapatkannya karena aku tidak sepintar itu. Namun, aku juga tidak mau mendiagnosis diriku
sendiri menjadi bagian dari impostor
syndrom.
Lalu, apakah hubungannya
dengan kekasih? Nah, kaitannya adalah tidak adanya kepercayaan diri. Aku pribadi tidak tahu bagaimana penilaian orang
lain terhadapku, meskipun tidak semua penilaian itu perlu dipikirkan. Tapi, gak
ada salahnya untuk didengar. Sejak kecil aku jarang mendapat pujian yang bisa
membuatku merasa ‘cukup’. Kini aku rasa pujian atau sekedar apresiasi itu
sangat berguna. Mungkin aku terlihat terlalu naif karena ingin dipuji. Namun melihat
makna pujian jauh lebih dalam lagi, ternyata pujian bisa menghadirkan perasaan
percaya diri dan motivasi untuk jadi lebih baik lagi, bukan sekadar rasa bahagia.
Sejak kecil jarang sekali
hampir tidak ada yang memujiku cantik, baik, pintar, dan berbagai ungkapan
lainnya, malahan seringnya dapat omongan negatif. Bukan berarti aku benar-benar tidak mendapatkannya, aku masih mendapatkannya
namun ya bisa dihitung dengan jari. Setiap kali aku mendapatkan sebuah
prestasi, aku hanya bisa menghitung dengan tangan siapa yang memberikanku
apresiasi. Bahkan keluargaku sendiri tidak semua mengapresiasi.
Aku tidak mengerti, apakah aku terlalu egois untuk meminta
apresiasi? Atau mungkin prestasiku tidak patut diapresiasi? Mungkin juga aku
terlalu naif akan pujian, padahal aku memang tidak sebaik itu. Aku sungguh
tidak mengerti. Di masa-masa seperti itu, aku hanya bisa merenung dan murung. Aku seperti
hidup sendiri, bahkan baru ku sadari ternyata tanpa apresiasi atau pujian, aku
kehilangan eksistensi di dunia ini. Ya, aku tidak percaya diri dan aku kurang
bisa menerima diriku sendiri apa adanya.
Sampai sekarang pun, aku masih berusaha untuk mengurangi
perasaan negatif itu. Aku tahu semua orang lahir di dunia ini dengan
keunikannya dan prestasi masing-masing. Mungkin aku tidak cantik dan pintar,
jadi aku tidak memiliki kekasih. Atau mungkin sebenarnya memang belum waktunya
saja hidup dengan kekasih. Dan ternyata hidup tanpa kekasih tidak membuatku
sepi, karena aku masih memiliki sahabat sejati.
Mungkin aku tidak sendiri merasakan perasaan ini, tapi
yang jelas kita hanya perlu bersabar dan mau menerima diri sendiri. Tidak mudah
memang, semua butuh proses yang panjang. Marissa Anita pernah mengatakan, “Jadi
manusia itu sulit. Jadi manusia itu a
long life discovery.” Selain itu, yuk kita lebih sadar lagi untuk
mengapresiasi diri sendiri dan orang-orang di sekitar kita. Apapun bentuk
apresiasi yang kita lakukan, kita tidak pernah tahu seperti apa dampaknya bagi
orang lain. Bisa jadi, dia mengubah pikiran dari yang niat bunuh diri, jadi
memperbaiki diri sendiri. Mari mencoba bersama!
Kalian juga bisa membaca sindrom penipu lebih dalam lagi di laman
Greatmind, Tirto atau Womantalk. Selamat membaca dan terima kasih sudah membaca
artikel ini. Bagikan artikel ini apabila patut untuk dibagikan dan komentar
apabila ingin berbagi pengalamanmu. See you!
nice topic dude. tos dulu, sama aku yg selalu berpikir bahwa apapun di hidupku ttg keberuntungan dan tidak mengakui impostor syndrom
ReplyDeleteSemangat kakkk, kamu g sendiri :)
Delete