Blog Archive

Labels

Advertisement

Report Abuse

Popular Posts

FOLLOW US @ INSTAGRAM

About Me

NEW POST!

Popular Posts

Skip to main content

Keluarga Tidak Lengkap


 

Beberapa hari belakangan ini aku sempat terpikir mengenai keluargaku yang tidak lengkap. Bukan dari faktor angka tapi dari faktor kata-kata. Sadar gak sih kalau sebenarnya keluarga yang utuh secara angka, belum tentu utuh secara kata-kata. Maksudnya begini, ada banyak orang yang keluarganya masih utuh ada bapak, ibuk dan anak (kita bahas keluarga inti dulu ya). Namun, ternyata secara kata-kata ini mereka gak lengkap. Misalnya, ketika kita menginginkan untuk kuliah di Jurusan Geografi mereka tidak mendukung kita, malah mengatur dan menyuruh kita masuk Jurusan Olahraga. Ada lagi, misalnya ketika kita mendapat prestasi, mereka tidak mengakuinya alias diacuhkan saja. Apabila kamu merasakan situasi yang kurang lebih sama dengan gambaran itu, bisa jadi mereka adalah keluarga yang toksik.

          Sebelum melangkah lebih jauh, sebenarnya toksisitas atau yang orang-orang zaman now sebut toxic itu apa sih? Di lansir melalui KBBI toksisitas adalah kemampuan suatu zat atau bahan yang mengakibatkan ketidaknyamanan, kesakitan, atau kematian pada manusia atau binatang. Toksisitas ini ada banyak macamnya antara lain; keluarga toksik, orang toksik, hubungan toksik, dan masih banyak lagi. Lalu bagaimana rasanya bertemu dengan orang toksik? Di lansir melalui laman Science of People, kita bisa merasakan rasa kurang dihargai, kurang didukung, sulit dan masih banyak lagi. Lalu apa yang akan terjadi jika kita bertemu dengan mereka? Kita akan sulit untuk berkembang dan tidak bisa bahagia dengan pilihan hidup kita. Sedikit banyak penyakit mental juga akan tumbuh, bahkan tidak jarang hubungan dengan orang-orang toksik menghancurkan hubungan yang sudah dibina bertahun-tahun. Sebuah artikel di Tirto mengatakan telah terjadi perceraian dengan angka yang tinggi di tahun 2018 sebanyak 140.375 dari 335.062 temuan dengan alasan hubungan yang toksik/kurang sehat.

Toksisitas yang pernah ku temui ada banyak sekali, salah satunya terjadi ketika aku masih kecil adalah aku tidak diizinkan untuk mengeluh. Ayahku bilang jangan mengeluh hadapi aja dan hal ini tidak dikatakan satu dua kali saja. Hampir setiap aku merasakan hari yang buruk atau suasana hati yang sedang tidak baik, ayah selalu bilang „udah gak usah sambat (sudah jangan mengeluh)“. Sayangnya, perasaan negatif itu tanpa disadari tertanam di diriku dan mulai tumbuh lebat sampai aku berada di titik sekarang. Di sebuah titik yang sangat membuat lelah, frustasi dan tidak bahagia.

Di umurku yang sudah dianggap dewasa oleh lingkungan sosial kita, aku sering mengalami konflik batin. Hal ini terjadi karena aku resah dan merasa tidak nyaman akibat ulah orang lain yang sedang mengeluh. Aku sampai pernah benci, bahkan tidak mau dekat atau menjadi teman dia karena dia suka mengeluh. Tentunya aku tidak mengungkapkan kekesalanku, karena di satu sisi aku memahami situasi dirinya. Memang, mengeluh yang berlebihan itu tidak baik. Tapi, mengeluh adalah tingkah yang normal dan wajar. Justru kita perlu menyadari perasaan negatif itu. Sudah sewajarnya sebagai seorang manusia kehidupan kita naik turun, kadang sedih dan kadang senang. Jadi, biarkan diri kita mengeluh. Asalakan, kita mengontrol perasaan itu juga.

            Contoh lain lagi datang dari negara gingseng alias negara Korea. Bagi kalian penggemar k-culture pasti sudah pernah dengar bahwa standar kecantikan di negara itu sangat tinggi. Bahkan kalau wajahnya gak kecil, kulitnya gak putih dan badannya gak langsing sulit orang itu mendapat pengakuan kalau mereka cantik dari orang lain. Ini juga salah satu hal yang toksik karena pada akhirnya ada banyak orang yang merasa tidak bahagia dengan bentuk tubuh atau wajahnya dan itu juga yang menyebabkan banyak sekali kasus operasi plastik terjadi. Yhaa meskipun Bruno Mars udah pernah bilang cause you’re amazing, just the way you are~~!

            Lalu bagaimana cara agar kita bisa terhindar dari orang yang toksik? Tidak ada cara yang pasti untuk menghindar karena kepastian di dunia ini hanyalah ketidakpastian ehh. Hehe bercanda. Maksudku pada situasi apapun itu kita tidak akan bisa sepenuhnya terhindar atau menghindari orang-orang ini. Tapi kita memiliki peluang untuk mengontrol diri sendiri. Misalnya, mengubah pola pikir. Contohnya, ketika kamu tidak pernah diberikan dukungan yang nyata dari kedua orang tua mu, maka buktikan dengan kesungguhan yang kamu miliki dahulu. Berhasil atau tidak itu adalah faktor yang datang setelah proses. Bersedih boleh, tapi jangan lama-lama terus bangkit dan tunjukkan. Jadikan cemooh itu motivasi untuk menggapai mimpi. Contoh lagi, keluarga besar sudah sangat toksik ketika melihat kita yang umurnya bertambah, namun tak kunjung menikah. Maka kita bisa mengubah pola pikir kita atau memberikan komentar yang assertif. Memang tidak mudah dan saranku juga belum tepat. Apabila dirasa sudah benar-benar lelah, maka aku menganjurkan untuk pergi ke psikolog/psikiater yang mungkin lebih bisa membantu permasalahan ini.

            Memang gak ada yang rasanya nyaman kalau sudah bertemu orang toksik, apalagi keluarga sendiri. Namun, meski begitu jangan terlalu menyalahkan diri sendiri karena terlahir di keluarga yang seperti itu. Kita bisa kok berubah, meskipun kita belum tentu bisa mengubah mereka. Bagaimana pun juga mereka tetap keluarga, tapi kita juga berhak untuk hidup lebih bahagia dengan keadaan kita sendiri. Dengan pilihan kita sendiri. Pasti ada jalan bagi orang yang mau berusaha, bukan?

            Ku rasa, aku tidak sendiri yang mengalami kekurangan ini. Ada banyak orang yang keluarganya juga gak lengkap seperti gambaran di atas, tapi kita masih bisa menemukan cara untuk melengkapi kekurangan itu bukan? Kalau keluarga tidak lengkap, tenangg masih ada aku kok... J

Comments