Beberapa hari
belakangan ini aku sempat terpikir mengenai keluargaku yang tidak lengkap.
Bukan dari faktor angka tapi dari faktor kata-kata. Sadar gak sih kalau
sebenarnya keluarga yang utuh secara angka, belum tentu utuh secara kata-kata.
Maksudnya begini, ada banyak orang yang keluarganya masih utuh ada bapak, ibuk
dan anak (kita bahas keluarga inti dulu ya). Namun, ternyata secara kata-kata
ini mereka gak lengkap. Misalnya, ketika kita menginginkan untuk kuliah di
Jurusan Geografi mereka tidak mendukung kita, malah mengatur dan menyuruh kita
masuk Jurusan Olahraga. Ada lagi, misalnya ketika kita mendapat prestasi,
mereka tidak mengakuinya alias diacuhkan saja. Apabila kamu merasakan situasi
yang kurang lebih sama dengan gambaran itu, bisa jadi mereka adalah keluarga
yang toksik.
Sebelum melangkah lebih jauh, sebenarnya toksisitas atau
yang orang-orang zaman now sebut toxic itu apa sih? Di lansir melalui KBBI
toksisitas adalah kemampuan suatu zat atau bahan yang mengakibatkan
ketidaknyamanan, kesakitan, atau kematian pada manusia atau binatang. Toksisitas ini ada banyak
macamnya antara lain; keluarga toksik, orang toksik, hubungan toksik, dan masih
banyak lagi. Lalu bagaimana rasanya bertemu dengan orang toksik? Di lansir
melalui laman Science of People, kita
bisa merasakan rasa kurang dihargai, kurang didukung, sulit dan masih banyak
lagi. Lalu apa yang akan terjadi jika kita bertemu dengan
mereka? Kita akan sulit untuk berkembang dan tidak bisa bahagia dengan pilihan
hidup kita. Sedikit banyak penyakit mental juga akan tumbuh, bahkan tidak
jarang hubungan dengan orang-orang toksik menghancurkan hubungan yang sudah
dibina bertahun-tahun. Sebuah artikel di Tirto mengatakan telah terjadi perceraian
dengan angka yang tinggi di tahun 2018 sebanyak 140.375 dari 335.062 temuan
dengan alasan hubungan yang toksik/kurang sehat.
Toksisitas yang pernah ku temui ada banyak sekali, salah
satunya terjadi ketika aku masih kecil adalah aku tidak diizinkan untuk
mengeluh. Ayahku bilang jangan mengeluh hadapi aja dan hal ini tidak dikatakan
satu dua kali saja. Hampir setiap aku merasakan hari yang buruk atau suasana
hati yang sedang tidak baik, ayah selalu bilang „udah gak usah sambat (sudah
jangan mengeluh)“. Sayangnya, perasaan negatif itu tanpa disadari tertanam di
diriku dan mulai tumbuh lebat sampai aku berada di titik sekarang. Di sebuah
titik yang sangat membuat lelah, frustasi dan tidak bahagia.
Di umurku yang sudah dianggap dewasa oleh lingkungan
sosial kita, aku sering mengalami konflik batin. Hal ini terjadi karena aku
resah dan merasa tidak nyaman akibat ulah orang lain yang sedang mengeluh. Aku
sampai pernah benci, bahkan tidak mau dekat atau menjadi teman dia karena dia
suka mengeluh. Tentunya aku tidak mengungkapkan kekesalanku, karena di satu
sisi aku memahami situasi dirinya. Memang, mengeluh yang berlebihan itu tidak
baik. Tapi, mengeluh adalah tingkah yang normal dan wajar. Justru kita perlu
menyadari perasaan negatif itu. Sudah sewajarnya sebagai seorang manusia
kehidupan kita naik turun, kadang sedih dan kadang senang. Jadi, biarkan diri
kita mengeluh. Asalakan, kita mengontrol perasaan itu juga.
Contoh lain lagi datang
dari negara gingseng alias negara Korea. Bagi kalian penggemar k-culture pasti sudah pernah dengar
bahwa standar kecantikan di negara itu sangat tinggi. Bahkan kalau wajahnya gak
kecil, kulitnya gak putih dan badannya gak langsing sulit orang itu mendapat
pengakuan kalau mereka cantik dari orang lain. Ini juga salah satu hal yang
toksik karena pada akhirnya ada banyak orang yang merasa tidak bahagia dengan
bentuk tubuh atau wajahnya dan itu juga yang menyebabkan banyak sekali kasus
operasi plastik terjadi. Yhaa meskipun
Bruno Mars udah pernah bilang cause you’re
amazing, just the way you are~~!
Lalu bagaimana cara
agar kita bisa terhindar dari orang yang toksik? Tidak ada cara yang pasti
untuk menghindar karena kepastian di dunia ini hanyalah ketidakpastian ehh. Hehe
bercanda. Maksudku pada situasi apapun itu kita tidak akan bisa sepenuhnya
terhindar atau menghindari orang-orang ini. Tapi kita memiliki peluang untuk
mengontrol diri sendiri. Misalnya, mengubah pola pikir. Contohnya, ketika kamu
tidak pernah diberikan dukungan yang nyata dari kedua orang tua mu, maka
buktikan dengan kesungguhan yang kamu miliki dahulu. Berhasil atau tidak itu
adalah faktor yang datang setelah proses. Bersedih boleh, tapi jangan lama-lama
terus bangkit dan tunjukkan. Jadikan cemooh itu motivasi untuk menggapai mimpi.
Contoh lagi, keluarga besar sudah sangat toksik ketika melihat kita yang
umurnya bertambah, namun tak kunjung menikah. Maka kita bisa mengubah pola
pikir kita atau memberikan komentar yang assertif. Memang tidak mudah dan
saranku juga belum tepat. Apabila dirasa sudah benar-benar lelah, maka aku
menganjurkan untuk pergi ke psikolog/psikiater yang mungkin lebih bisa membantu
permasalahan ini.
Memang gak ada yang
rasanya nyaman kalau sudah bertemu orang toksik, apalagi keluarga sendiri. Namun,
meski begitu jangan terlalu menyalahkan diri sendiri karena terlahir di
keluarga yang seperti itu. Kita bisa kok berubah, meskipun kita belum tentu
bisa mengubah mereka. Bagaimana pun juga mereka tetap keluarga, tapi kita juga
berhak untuk hidup lebih bahagia dengan keadaan kita sendiri. Dengan pilihan
kita sendiri. Pasti ada jalan bagi orang yang mau berusaha, bukan?
Ku rasa, aku tidak sendiri
yang mengalami kekurangan ini. Ada banyak orang yang keluarganya juga gak
lengkap seperti gambaran di atas, tapi kita masih bisa menemukan cara untuk
melengkapi kekurangan itu bukan? Kalau keluarga tidak lengkap, tenangg masih
ada aku kok... J
Comments
Post a Comment