“Guru itu digugu dan ditiru”-
Pepatah Jawa
Satu setengah bulan
lamanya aku belajar jadi guru di tempat yang profesional. Awalnya (memang)
tidak sebahagia akhirnya, hehe.. Iya, karena aku sendiri memang gak mau menjadi
guru. Bisa dibilang memang dari awal memang ingin segera berlalu dunia praktik
mengajar ini, apalagi mengajar di tempat yang sangat tidak asing bagiku. Tempat yang sebenarnya penuh cerita. Cerita-cerita
indah dan buruk.
Singkat cerita, awalnya aku cukup kaget karena harus
beradaptasi dengan kebiasaan baru. Biasanya bisa bangun siang dan memulai
kegiatan agak siang, sekarang harus bangun pagi karena mengajar di jam pertama.
Kegiatan biasanya membaca, menulis, nyanyi, masak, dsb. Sekarang membuat RPP,
materi, tugas, belum lagi tanggungan-tanggungan lainnya dan belum lagi revisiannya
yang kadang tidak terduga banyaknya. Haha..
Memang ya masa-masa adaptasi itu perlu dipeluk dengan mental yang sekuat
baja. Bagiku hidup itu seperti ikan yang berenang di alir yang mengalir. Berjalan
mengambang di atas air, tapi kita yang menentukan mau mengalir kemana. Awalnya cukup
berat karena mengajar di dua kelas beda jenjang dan tentunya attitudenya juga
beda. Apalagi jadi guru bahasa asing itu gak sama dengan guru pelajaran Bahasa
Indonesia atau Matematika yang memang dari SD pun siswa udah kenal pelajaran
itu.
Awal mengajar aku cukup
takut melakukan banyak kesalahan, tapi di sisi lain aku sadar kalau kesuksesan
tidak pernah hadir tanpa kegagalan. Meskipun pada akhirnya sampai akhir masa
praktik mengajar pun masih bertemu dengan yang namanya revisi. Kalau sudah
penat dengan drama perevisian ini siapa lagi kalau bukan diri sendiri yang bisa
membantu menguatkan hati? Nyatanya, jadi guru tidak hanya sekedar mengajar tapi
juga tuntutan administrasi bahkan birokrasi yang menumpuk. Apalagi di zaman
corona semuanya tidak semudah biasanya.
Setelah berlalu kurang
lebih dua minggu, akhirnya aku bisa merasa lega karena akhirnya bisa mengerti
apa yang harus aku ajarkan dan bagaimana aku mengajarnya agar siswa mengerti. Sampai
akhirnya minggu-minggu terakhir mengajar pun tiba, aku mulai sadar bahwa semua
kelas yang aku dan teman-teman ajar ini hanya diajarkan oleh satu guru saja. Kenyataan
itu yang membuatku tertegun, sekaligus terkesan. Seorang guru mengajarkan lebih
dari enam kelas selama satu minggu. Kami saja yang mengajar dua kelas sudah
capek dan sambat terus-terusan, tapi beliau mengajar seluruh kelas yang kami
ajar seorang diri. Rasanya aku ingin melakukan yang terbaik untuk mengurangi
beban guru itu, setidaknya selama satu bulan ini.
Begitu juga dengan siswa. Ternyata
siswa ini karakternya juga tidak bisa ditebak. Ada yang hidupnya luruss alias
rajin terus atau malas terus, ada yang presensi tapi tugas gak dikerjakan, ada
juga yang kebalikannya, ada juga yang hanya ikut ulangan harian tapi tugas lain
ditelantarkan, ada juga yang mengumpulkan terlambat, ada yang salah kirim tugas
pkn ke tugas bahasa Jerman, ada yang kirim tugas bahasa Inggris padahal
dimintanya bahasa Jerman, ada juga yang baru mengumpulkan setelah kami
berpamitan selesai praktik mengajar, hmmm... begitulah aku dan teman-temanku
dulu. Maafkan kami ya, Bapak Ibu Guru semua J Kalian memang benar-benar pahlawan tanpa tanda jasa!
Setelah perasaan
khawatirku mereda di minggu kedua mengajar, aku mulai menguatkan hati untuk terus
berjuang menyelesaikan apa yang perlu diselesaikan, tak harus sempurna tapi
yang penting sudah melakukan yang terbaik. Perasaan itu yang menemaniku hingga
di detik akhir aku mengajar. Di samping aku mengajar apa yang seharusnya aku
ajarkan, hati kecilku selalu mengingatkanku untuk meninggalkan sesuatu yang
lebih penting dari sekedar mengajar salah satunya nilai kehidupan.
Aku berusaha seterbuka
mungkin menerima hal-hal yang bisa jadi di luar ekspektasiku, berusaha sekuat
mungkin menerima hal-hal yang mungkin bisa membuatku sakit hati sekali atau
bahagia sekali. Misalnya, mengetahui kalau ada siswa yang menggunakan bantuan sistem
(menyontek) ketika mengerjakan tugas, dll. Aku pernah merasakan betapa tidak
nyamannya hidup sebagai siswa, betapa stres bahkan depresi karena sekolah. Perasaan-perasaan
menyedihkan itu yang mengingatkanku untuk meninggalkan tinta yang lebih
bermakna dan bernilai daripada masa-masa aku menjadi siswa di sana. Aku pernah
bilang kepada siswaku, „Jadilah siswa yang baik, jujur dan bertanggung jawab
dulu baru pintar.“ Ya aku tahu, aku memang hanya guru yang sedang praktik, tapi
bagaimana masa depan bangsa ini kalau waktu yang sekejap ini tak ku tinggali
tinta nilai kehidupan meski hanya sepatah dua patah kata?
Kalau sudah ada di posisi
itu, aku jadi teringat kata-kata dosenku yang ada benarnya juga, „Saya itu
kalau nilai tugas atau ujian kalian tidak serius. Lha wong gak serius aja
nilainya E gimana kalau serius.“ Kalau ingat itu aku cuma bisa tersenyum sambil
memandangi tugas siswaku yang gak sinkron dengan perintahnya, mengerjakan
melalui kecurangan, mengulang kesalahan atau terlambat mengumpulkan. Tapi sebenarnya
menjadi pintar itu tidak sesulit menjadi manusia. Pintar membaca hanya perlu
diasah dengan banyak membaca, tapi menjadi manusia kita akan terus-terusan
melakukan kesalahan dulu sampai menjadi manusia yang baik. Yang kalau
dihitung-hitung kesalahan itu bisa jadi merugikan orang lain juga.
Aku pun sebisa mungkin
menjadi guru yang tidak terlalu menuntut atau dipenuhi hawa nafsu. Bukannya aku
pesimis, takut siswaku menjadi seperti diriku. Aku hanya ingin memperbaiki
kenangan yang jauh lebih baik. Mendapatkan nilai di atas kkm disetiap tugas
memang menyenangkan, tapi menjadi manusia yang jujur dan bertanggung jawab itu
yang dibutuhkan Indonesia atau paling gak bagi mereka sendiri lah. Aku memang
tidak mau menjadi guru, tapi kalau memang guru adalah takdirku. Rasanya aku
ingin memilih untuk bisa mengajar di sekolah yang tidak di bawah pemerintahan. Alasannya
sederhana, karena menjadi guru tidak hanya perkara gaji yang terjamin tiap
bulannya, tapi juga ketegasan dan tanggung jawab.
Yah mungkin, ini hanya
masalah preferensi bukan sesuatu yang harus diperdebatkan. Bahkan bubur diaduk
dan gak diaduk adalah preferensi juga yang gak perlu diperdebatkan sampai
berhujung hujat menghujat kan? Satu hal terpenting yang ingin ku sampaikan kepada
siswa ku secara tidak langsung adalah aku tidak memaksa mereka mencintai
pelajaran ini. Aku hanya berharap mereka tahu bahwa tidak semua hal perlu
dicintai dan beberapa hal yang mereka hadapi mungkin hanya sebatas
diperjuangkan semampunya saja. Bukan berarti hidup pasrah, tapi memang keadaan
hati dan pikiran tidak bisa dipaksakan untuk memperjuangkan semua hal di depan
mata.
Hari ini aku sudah seperti
lahir kembali karena belajar banyak hal yang membukakan mata dan hati,
menyadari mau dibawa kemana pikiranku berlari, mau diapakan suasana hati dan
mau dihadirkan seperti apa masa depanku nanti. Proses akan terus berjalan tak
terhenti, sama ketika menjadi manusia. Kita terus mengubah diri menjadi yang
lebih baik. Terima kasih atas kesempatannya Tuhan, terima kasih guru-guruku,
terima kasih sahabat-sahabatku, terima kasih siswa-siswaku, terima kasih sudah
menorehkan warna baru di atas kanvas hitam yang rapuh ini.
"Intelegence plus character; that is the true goal of education." - Martin Luther King Jr
Comments
Post a Comment