Blog Archive

Labels

Advertisement

Report Abuse

Popular Posts

FOLLOW US @ INSTAGRAM

About Me

NEW POST!

Popular Posts

Skip to main content

Guru Sekejap

 


“Guru itu digugu dan ditiru”- Pepatah Jawa

 

            Satu setengah bulan lamanya aku belajar jadi guru di tempat yang profesional. Awalnya (memang) tidak sebahagia akhirnya, hehe.. Iya, karena aku sendiri memang gak mau menjadi guru. Bisa dibilang memang dari awal memang ingin segera berlalu dunia praktik mengajar ini, apalagi mengajar di tempat yang sangat tidak asing bagiku. Tempat yang sebenarnya penuh cerita. Cerita-cerita indah dan buruk.

            Singkat cerita, awalnya aku cukup kaget karena harus beradaptasi dengan kebiasaan baru. Biasanya bisa bangun siang dan memulai kegiatan agak siang, sekarang harus bangun pagi karena mengajar di jam pertama. Kegiatan biasanya membaca, menulis, nyanyi, masak, dsb. Sekarang membuat RPP, materi, tugas, belum lagi tanggungan-tanggungan lainnya dan belum lagi revisiannya yang kadang tidak terduga banyaknya. Haha..

            Memang ya masa-masa adaptasi itu perlu dipeluk dengan mental yang sekuat baja. Bagiku hidup itu seperti ikan yang berenang di alir yang mengalir. Berjalan mengambang di atas air, tapi kita yang menentukan mau mengalir kemana. Awalnya cukup berat karena mengajar di dua kelas beda jenjang dan tentunya attitudenya juga beda. Apalagi jadi guru bahasa asing itu gak sama dengan guru pelajaran Bahasa Indonesia atau Matematika yang memang dari SD pun siswa udah kenal pelajaran itu.

            Awal mengajar aku cukup takut melakukan banyak kesalahan, tapi di sisi lain aku sadar kalau kesuksesan tidak pernah hadir tanpa kegagalan. Meskipun pada akhirnya sampai akhir masa praktik mengajar pun masih bertemu dengan yang namanya revisi. Kalau sudah penat dengan drama perevisian ini siapa lagi kalau bukan diri sendiri yang bisa membantu menguatkan hati? Nyatanya, jadi guru tidak hanya sekedar mengajar tapi juga tuntutan administrasi bahkan birokrasi yang menumpuk. Apalagi di zaman corona semuanya tidak semudah biasanya.

            Setelah berlalu kurang lebih dua minggu, akhirnya aku bisa merasa lega karena akhirnya bisa mengerti apa yang harus aku ajarkan dan bagaimana aku mengajarnya agar siswa mengerti. Sampai akhirnya minggu-minggu terakhir mengajar pun tiba, aku mulai sadar bahwa semua kelas yang aku dan teman-teman ajar ini hanya diajarkan oleh satu guru saja. Kenyataan itu yang membuatku tertegun, sekaligus terkesan. Seorang guru mengajarkan lebih dari enam kelas selama satu minggu. Kami saja yang mengajar dua kelas sudah capek dan sambat terus-terusan, tapi beliau mengajar seluruh kelas yang kami ajar seorang diri. Rasanya aku ingin melakukan yang terbaik untuk mengurangi beban guru itu, setidaknya selama satu bulan ini.

            Begitu juga dengan siswa. Ternyata siswa ini karakternya juga tidak bisa ditebak. Ada yang hidupnya luruss alias rajin terus atau malas terus, ada yang presensi tapi tugas gak dikerjakan, ada juga yang kebalikannya, ada juga yang hanya ikut ulangan harian tapi tugas lain ditelantarkan, ada juga yang mengumpulkan terlambat, ada yang salah kirim tugas pkn ke tugas bahasa Jerman, ada yang kirim tugas bahasa Inggris padahal dimintanya bahasa Jerman, ada juga yang baru mengumpulkan setelah kami berpamitan selesai praktik mengajar, hmmm... begitulah aku dan teman-temanku dulu. Maafkan kami ya, Bapak Ibu Guru semua J Kalian memang benar-benar pahlawan tanpa tanda jasa!

            Setelah perasaan khawatirku mereda di minggu kedua mengajar, aku mulai menguatkan hati untuk terus berjuang menyelesaikan apa yang perlu diselesaikan, tak harus sempurna tapi yang penting sudah melakukan yang terbaik. Perasaan itu yang menemaniku hingga di detik akhir aku mengajar. Di samping aku mengajar apa yang seharusnya aku ajarkan, hati kecilku selalu mengingatkanku untuk meninggalkan sesuatu yang lebih penting dari sekedar mengajar salah satunya nilai kehidupan.

            Aku berusaha seterbuka mungkin menerima hal-hal yang bisa jadi di luar ekspektasiku, berusaha sekuat mungkin menerima hal-hal yang mungkin bisa membuatku sakit hati sekali atau bahagia sekali. Misalnya, mengetahui kalau ada siswa yang menggunakan bantuan sistem (menyontek) ketika mengerjakan tugas, dll. Aku pernah merasakan betapa tidak nyamannya hidup sebagai siswa, betapa stres bahkan depresi karena sekolah. Perasaan-perasaan menyedihkan itu yang mengingatkanku untuk meninggalkan tinta yang lebih bermakna dan bernilai daripada masa-masa aku menjadi siswa di sana. Aku pernah bilang kepada siswaku, „Jadilah siswa yang baik, jujur dan bertanggung jawab dulu baru pintar.“ Ya aku tahu, aku memang hanya guru yang sedang praktik, tapi bagaimana masa depan bangsa ini kalau waktu yang sekejap ini tak ku tinggali tinta nilai kehidupan meski hanya sepatah dua patah kata?

            Kalau sudah ada di posisi itu, aku jadi teringat kata-kata dosenku yang ada benarnya juga, „Saya itu kalau nilai tugas atau ujian kalian tidak serius. Lha wong gak serius aja nilainya E gimana kalau serius.“ Kalau ingat itu aku cuma bisa tersenyum sambil memandangi tugas siswaku yang gak sinkron dengan perintahnya, mengerjakan melalui kecurangan, mengulang kesalahan atau terlambat mengumpulkan. Tapi sebenarnya menjadi pintar itu tidak sesulit menjadi manusia. Pintar membaca hanya perlu diasah dengan banyak membaca, tapi menjadi manusia kita akan terus-terusan melakukan kesalahan dulu sampai menjadi manusia yang baik. Yang kalau dihitung-hitung kesalahan itu bisa jadi merugikan orang lain juga.

            Aku pun sebisa mungkin menjadi guru yang tidak terlalu menuntut atau dipenuhi hawa nafsu. Bukannya aku pesimis, takut siswaku menjadi seperti diriku. Aku hanya ingin memperbaiki kenangan yang jauh lebih baik. Mendapatkan nilai di atas kkm disetiap tugas memang menyenangkan, tapi menjadi manusia yang jujur dan bertanggung jawab itu yang dibutuhkan Indonesia atau paling gak bagi mereka sendiri lah. Aku memang tidak mau menjadi guru, tapi kalau memang guru adalah takdirku. Rasanya aku ingin memilih untuk bisa mengajar di sekolah yang tidak di bawah pemerintahan. Alasannya sederhana, karena menjadi guru tidak hanya perkara gaji yang terjamin tiap bulannya, tapi juga ketegasan dan tanggung jawab.

            Yah mungkin, ini hanya masalah preferensi bukan sesuatu yang harus diperdebatkan. Bahkan bubur diaduk dan gak diaduk adalah preferensi juga yang gak perlu diperdebatkan sampai berhujung hujat menghujat kan? Satu hal terpenting yang ingin ku sampaikan kepada siswa ku secara tidak langsung adalah aku tidak memaksa mereka mencintai pelajaran ini. Aku hanya berharap mereka tahu bahwa tidak semua hal perlu dicintai dan beberapa hal yang mereka hadapi mungkin hanya sebatas diperjuangkan semampunya saja. Bukan berarti hidup pasrah, tapi memang keadaan hati dan pikiran tidak bisa dipaksakan untuk memperjuangkan semua hal di depan mata.

            Hari ini aku sudah seperti lahir kembali karena belajar banyak hal yang membukakan mata dan hati, menyadari mau dibawa kemana pikiranku berlari, mau diapakan suasana hati dan mau dihadirkan seperti apa masa depanku nanti. Proses akan terus berjalan tak terhenti, sama ketika menjadi manusia. Kita terus mengubah diri menjadi yang lebih baik. Terima kasih atas kesempatannya Tuhan, terima kasih guru-guruku, terima kasih sahabat-sahabatku, terima kasih siswa-siswaku, terima kasih sudah menorehkan warna baru di atas kanvas hitam yang rapuh ini.

"Intelegence plus character; that is the true goal of education." - Martin Luther King Jr

Comments