Tahun 2020 adalah tahun yang paling menarik di antara tahun-tahun lainnya.
Kalau berjalan mundur sekilas dari bulan Januari kemarin sampai hari ini,
ternyata diri ini sudah berjalan melalui banyak hal. Ada banyak hal yang diraih, pun ada banyak hal yang
dilewatkan. Ada banyak hal baru yang terjadi, pun ada banyak hal yang berlalu
masih terulang kembali. Ada banyak perasaan yang menggeluti diri ini, mulai
dari perasaan bahagia, sedih, cemas, damai, takut dan masih banyak lagi. Setiap momen yang
terlewati ini sangat perlu disyukuri bahkan diterima.
Aku masih ingat betul di
bulan Januari mengalami stres karena masalah masa depan. Ketika apa yang kamu
inginkan terlihat jauh dan sulit diraih, adakalanya perasaan menyerah datang seperti
angin topan yang berhasil menjebak diri ini untuk bangkit. Masih di bulan
Januari ternyata sudah stres dan sedih karena masa depan yang tidak sesuai dengan apa yang
ku inginkan dan orang tua inginkan. Namun, aku tahu kalau kata menyerah terlalu
gampang diucapkan di level ini. Mestinya
masih ada level-level lainnya sebelum dengan sepenuhnya memutuskan untuk
menyerah. Alhasil di tahun ini aku jadi belajar bahwa kesuksesan itu adalah
sebuah proses panjang dan menyakitkan, meski rasa sakit
itu bersumber dari orang terdekat kita sendiri.
“Kesuksesan itu diraih dari
berbagai macam pengorbanan, salah satunya sakit hati karena kritik pedas orang
terdekat kita.”
Di bulan-bulan selanjutnya, rasa hampa dan perasaan
negatif lainnya masih senang bersemayam dalam hatiku. Sampai akhirnya di
pertengahan bulan Maret ditemukan kasus covid-19 pertama di Indonesia. Tidak
lama kemudian seluruh aktivitas tidak berjalan normal seperti biasanya.
Perkuliahan dilakukan secara daring, seluruh pertemuan ditunda bahkan dibatalkan,
rencana liburan terpaksa dihilangkan dari urutan prioritas dan kegiatan yang
melibatkan lapangan terpaksa dibatasi pergerakannya. Mengejutkan sekaligus
menantang karena di situasi yang sangat tidak terduga ini nyatanya kita
ditantang untuk hidup lebih hati-hati dan berbeda dari biasanya.
Hadirnya pandemi bukanlah masalah besar bagi diriku.
Mungkin karena aku sehari-harinya lebih sering menghabiskan waktu di rumah dan
jarang bepergian. Di sisi lain pekerjaan yang ku lakukan setiap hari juga di
rumah, tidak melibatkan lingkungan luar terlalu banyak. Alhasil aku tidak
merasakan perbedaan yang besar semenjak ‘dirumahkan’. Justru karena pandemi, aku bisa
lebih mengenal diriku sendiri lebih baik. Ada banyak hal baru yang dilakukan
dan ternyata menambah jajaran hobi terbaru. Mulai dari memasak, membaca,
menulis, menyanyi, olahraga dan masih banyak lagi kegiatan yang ditemukan.
Pertengahan tahun 2020 aku
akhirnya menyerah untuk memendam semua luka dan trauma yang pernah terjadi, aku
pun memutuskan untuk bertemu dengan psikolog untuk pertama kalinya. Bertemu
dengan psikolog atau berobat melalui layanan yang diberikan oleh
psikolog/psikiater tidak menunjukkan bahwa kita itu lemah atau gila. Apa yang
telah aku alami selama ini, tidak menunjukkan indikasi bahwa aku ini orang gila
sampai akhirnya aku harus bertemu psikolog. Namun, justru orang yang terluka/tersakiti
dan memutuskan untuk berobat adalah orang yang mencintai dirinya sendiri. Besok
aku ingin hidup lebih baik dari hari ini, maka jika bertemu dengan orang yang
dapat menyelesaikan masalahku adalah usaha terbaik yang bisa dilakukan selain
berdoa. Mengapa harus ditunda?
Setelah bergelut dengan
diriku sendiri bertahun-tahun, akhirnya masalah yang kuhadapi terlihat lebih
jelas dan pasti. Aku juga mendapatkan bekal atau obat untuk menanggulangi
persaan negatif ini. Pada akhirnya, ketika masa-masa terberat ini sudah
berlalu. Semua ini menjadi kenangan dan bahkan bisa jadi menertawakan diri
sendiri. “Kenapa juga aku
mempersulit diriku sendiri ya dulu? Kalau ternyata dunia ini tidak selalu jahat
kepadaku..”
Tidak lama setelahnya, aku
berhasil memproduksi 2 buku yang mana salah satu diantaranya berhasil
diterbitkan. Buku Waktu sedang Beraksara adalah buku pertama yang menceritakan
perjalanan luka yang ku alami selama ini, terdiri dari esai-esai menarik
seputar trauma dan kegagalan. Banyak kutipan-kutipan yang cocok dengan
situasi-situasi tertentu dan tentunya tidak hanya aku yang mengalami. Rasanya
senang akhirnya bisa memiliki buku yang diterbitkan secara gratis. Meskipun
setelah buku ini terbit pun orang terdekatku masih saja mengkritik karyaku.
Entah sampai kapan usahaku tidak pernah dianggap, aku masih akan terus
berjuang.
“Terkadang
kita perlu melalui jalan berlubang sebelum berjalan di jalan penuh bunga.”
Tidak lama setelahnya aku
melaksanakan kegiatan praktik mengajar yang sebenarnya tidak begitu aku
nantikan. Malah kalau bisa di-skip
aja kegiatan ini, hahaha... Ada banyak alasan secara internal yang muncul dan
membuatku enggan melaksanakan praktik mengajar ini. Namun, dengan berbagai
pertimbangan. Tidak mungkin aku tidak melaksanakan kegiatan ini yang
jelas-jelas sudah terprogram selama perkuliahan di semester ini. Melawan hal
yang sejak awal tidak kita inginkan membutuhkan usaha yang lebih besar daripada
melakukan kegiatan yang kita sukai dengan sukarela. Salah satu cara yang aku
lakukan untuk mengatasi perasaan enggan ini adalah mengubah cara pikir yang
lebih positif.
“Anggap
saja apa yang kita lakukan untuk hari ini adalah cara untuk menambah skill
baru. Setidaknya kalau bukan skill mengajar, anggap saja ini skill
mengembangkan mental yang lebih matang. Bisa jadi esok lebih berat daripada
hari ini. Maka dari itu ayo kita usahakan dahulu. Sedikit lagi.”
Kalau memang tidak ada
rumah yang bisa menenangkanku, mungkin dengan kesendirian pun diri ini memiliki
cara sendiri untuk tetap tenang. Salah satu jalan yang harus kita tempuh,
sebelum menemukan rumah sejati adalah menjadi rumah untuk diri kita sendiri
dahulu. Sendiri dan mandiri lebih baik daripada sendiri tapi merugi.
Di bulan Oktober aku
kembali menghadapi perasaan negatif. Kali ini aku merasa aneh karena perasaan
yang dari awal sudah kuwanti-wanti tidak hadir, malah menyelimutiku. Aku merasa
tertinggal karena teman-teman dekatku sudah mengerjakan skripsi sampai bab-bab
tertentu, sedangkan diriku masih di sini saja. Aku sempat merasa kecil dan
tertinggal. Perasaan membandingkan ini sebenarnya tidak aku harapkan muncul,
namun ternyata secara natural perasaan ini muncul dan semakin besar dari
sebelumnya jika tidak segera dihentikan.
Aku pikir tidak hanya aku
yang merasakan perasaan seperti ini. Di luar sana aku yakin ada banyak
teman-teman mahasiswa lainnya yang juga merasakan hal yang sama. Kadang aku
juga lupa bahwa ternyata teman-teman ku yang lain, mungkin ingin berada di
posisiku. Meski aku masih di bab awal, menurut mereka (mungkin) itu lebih baik.
Karena beberapa dari mereka masih ada yang tidak tahu judul penelitiannya,
masih ada masalah yang harus diselesaikan terlebih dahulu dan masih banyak lagi.
Kalau sudah sadar begini, maka sering-sering bersyukur supaya hidup jadi lebih
tenang dan legowo.
“Pelan-pelan
saja, lambat belum tentu kalah dari tujuan. Finish
setiap orang berbeda. Nikmati saja dulu keadaan ini. Esok kita tidak pernah
tahu pasti apa yang terjadi.” – Diyah Deviyanti
Aku pikir pandemi tidak
selamanya berakhir mengenaskan, selama kita mau lebih bijaksana dan bersabar
dalam menelaah kehidupan. Bagiku juga tidak ada tahun yang buruk atau tahun
yang baik, semua sama. Ada bahagia dan ada duka di semua tahun. Ada kalanya
memang dukanya lebih banyak daripada bahagianya dan sebaliknya. Sampai di titik
ini juga aku jadi mengerti bahwa di umur ini, semua realita kehidupan mulai
tampak dan suka menampar diri sendiri. Dan yang lebih penting dari seluruh
cerita di atas adalah biarkan dirimu bebas. Bebas merasa sedih, senang, bingung
dan biarkan saja terungkap. Biarkan perasaan yang sedang kita alami muncul,
tidak perlu ditahan. Tidak ada utungnya menipu hati karena hati tidak bisa
berbohong. Menangis, sedih, stres atau bingung itu perasaan normal dan tidak
bisa diindikasikan sebagai manusia lemah. Pada nyatanya dengan menangis, hati
lebih lega dan mampu menemukan jalan untuk bangkit.
Hidup di tahun pandemi juga tidak mudah. Memang pandemi memaksa kita untuk jauh dari orang lain, tapi tetaplah berkomunikasi dan jangan dihilangkan. Bagaimanapun juga terlalu berlarut pada kesendirian tidaklah baik. Kita butuh berkomunikasi untuk meredakan stres dan untuk mencintai diri sendiri. Semoga harimu dan tahun ini menjadi tahun untuk beradaptasi dan belajar sesuatu yang baru. Salam hangat dariku. J
Comments
Post a Comment