Blog Archive

Labels

Advertisement

Report Abuse

Popular Posts

FOLLOW US @ INSTAGRAM

About Me

NEW POST!

Popular Posts

Skip to main content

Hidup di Tahun Pandemi

 


Tahun 2020 adalah tahun yang paling menarik di antara tahun-tahun lainnya. Kalau berjalan mundur sekilas dari bulan Januari kemarin sampai hari ini, ternyata diri ini sudah berjalan melalui banyak hal. Ada banyak hal yang diraih, pun ada banyak hal yang dilewatkan. Ada banyak hal baru yang terjadi, pun ada banyak hal yang berlalu masih terulang kembali. Ada banyak perasaan yang menggeluti diri ini, mulai dari perasaan bahagia, sedih, cemas, damai, takut dan masih banyak lagi. Setiap momen yang terlewati ini sangat perlu disyukuri bahkan diterima.

            Aku masih ingat betul di bulan Januari mengalami stres karena masalah masa depan. Ketika apa yang kamu inginkan terlihat jauh dan sulit diraih, adakalanya perasaan menyerah datang seperti angin topan yang berhasil menjebak diri ini untuk bangkit. Masih di bulan Januari ternyata sudah stres dan sedih karena masa depan yang tidak sesuai dengan apa yang ku inginkan dan orang tua inginkan. Namun, aku tahu kalau kata menyerah terlalu gampang diucapkan di level ini. Mestinya masih ada level-level lainnya sebelum dengan sepenuhnya memutuskan untuk menyerah. Alhasil di tahun ini aku jadi belajar bahwa kesuksesan itu adalah sebuah proses panjang dan menyakitkan, meski rasa sakit itu bersumber dari orang terdekat kita sendiri.

“Kesuksesan itu diraih dari berbagai macam pengorbanan, salah satunya sakit hati karena kritik pedas orang terdekat kita.”

            Di bulan-bulan selanjutnya, rasa hampa dan perasaan negatif lainnya masih senang bersemayam dalam hatiku. Sampai akhirnya di pertengahan bulan Maret ditemukan kasus covid-19 pertama di Indonesia. Tidak lama kemudian seluruh aktivitas tidak berjalan normal seperti biasanya. Perkuliahan dilakukan secara daring, seluruh pertemuan ditunda bahkan dibatalkan, rencana liburan terpaksa dihilangkan dari urutan prioritas dan kegiatan yang melibatkan lapangan terpaksa dibatasi pergerakannya. Mengejutkan sekaligus menantang karena di situasi yang sangat tidak terduga ini nyatanya kita ditantang untuk hidup lebih hati-hati dan berbeda dari biasanya.

            Hadirnya pandemi bukanlah masalah besar bagi diriku. Mungkin karena aku sehari-harinya lebih sering menghabiskan waktu di rumah dan jarang bepergian. Di sisi lain pekerjaan yang ku lakukan setiap hari juga di rumah, tidak melibatkan lingkungan luar terlalu banyak. Alhasil aku tidak merasakan perbedaan yang besar semenjak ‘dirumahkan’. Justru karena pandemi, aku bisa lebih mengenal diriku sendiri lebih baik. Ada banyak hal baru yang dilakukan dan ternyata menambah jajaran hobi terbaru. Mulai dari memasak, membaca, menulis, menyanyi, olahraga dan masih banyak lagi kegiatan yang ditemukan.

            Pertengahan tahun 2020 aku akhirnya menyerah untuk memendam semua luka dan trauma yang pernah terjadi, aku pun memutuskan untuk bertemu dengan psikolog untuk pertama kalinya. Bertemu dengan psikolog atau berobat melalui layanan yang diberikan oleh psikolog/psikiater tidak menunjukkan bahwa kita itu lemah atau gila. Apa yang telah aku alami selama ini, tidak menunjukkan indikasi bahwa aku ini orang gila sampai akhirnya aku harus bertemu psikolog. Namun, justru orang yang terluka/tersakiti dan memutuskan untuk berobat adalah orang yang mencintai dirinya sendiri. Besok aku ingin hidup lebih baik dari hari ini, maka jika bertemu dengan orang yang dapat menyelesaikan masalahku adalah usaha terbaik yang bisa dilakukan selain berdoa. Mengapa harus ditunda?

            Setelah bergelut dengan diriku sendiri bertahun-tahun, akhirnya masalah yang kuhadapi terlihat lebih jelas dan pasti. Aku juga mendapatkan bekal atau obat untuk menanggulangi persaan negatif ini. Pada akhirnya, ketika masa-masa terberat ini sudah berlalu. Semua ini menjadi kenangan dan bahkan bisa jadi menertawakan diri sendiri. “Kenapa juga aku mempersulit diriku sendiri ya dulu? Kalau ternyata dunia ini tidak selalu jahat kepadaku..”

            Tidak lama setelahnya, aku berhasil memproduksi 2 buku yang mana salah satu diantaranya berhasil diterbitkan. Buku Waktu sedang Beraksara adalah buku pertama yang menceritakan perjalanan luka yang ku alami selama ini, terdiri dari esai-esai menarik seputar trauma dan kegagalan. Banyak kutipan-kutipan yang cocok dengan situasi-situasi tertentu dan tentunya tidak hanya aku yang mengalami. Rasanya senang akhirnya bisa memiliki buku yang diterbitkan secara gratis. Meskipun setelah buku ini terbit pun orang terdekatku masih saja mengkritik karyaku. Entah sampai kapan usahaku tidak pernah dianggap, aku masih akan terus berjuang.

“Terkadang kita perlu melalui jalan berlubang sebelum berjalan di jalan penuh bunga.”

            Tidak lama setelahnya aku melaksanakan kegiatan praktik mengajar yang sebenarnya tidak begitu aku nantikan. Malah kalau bisa di-skip aja kegiatan ini, hahaha... Ada banyak alasan secara internal yang muncul dan membuatku enggan melaksanakan praktik mengajar ini. Namun, dengan berbagai pertimbangan. Tidak mungkin aku tidak melaksanakan kegiatan ini yang jelas-jelas sudah terprogram selama perkuliahan di semester ini. Melawan hal yang sejak awal tidak kita inginkan membutuhkan usaha yang lebih besar daripada melakukan kegiatan yang kita sukai dengan sukarela. Salah satu cara yang aku lakukan untuk mengatasi perasaan enggan ini adalah mengubah cara pikir yang lebih positif.

“Anggap saja apa yang kita lakukan untuk hari ini adalah cara untuk menambah skill baru. Setidaknya kalau bukan skill mengajar, anggap saja ini skill mengembangkan mental yang lebih matang. Bisa jadi esok lebih berat daripada hari ini. Maka dari itu ayo kita usahakan dahulu. Sedikit lagi.”

            Kalau memang tidak ada rumah yang bisa menenangkanku, mungkin dengan kesendirian pun diri ini memiliki cara sendiri untuk tetap tenang. Salah satu jalan yang harus kita tempuh, sebelum menemukan rumah sejati adalah menjadi rumah untuk diri kita sendiri dahulu. Sendiri dan mandiri lebih baik daripada sendiri tapi merugi.

            Di bulan Oktober aku kembali menghadapi perasaan negatif. Kali ini aku merasa aneh karena perasaan yang dari awal sudah kuwanti-wanti tidak hadir, malah menyelimutiku. Aku merasa tertinggal karena teman-teman dekatku sudah mengerjakan skripsi sampai bab-bab tertentu, sedangkan diriku masih di sini saja. Aku sempat merasa kecil dan tertinggal. Perasaan membandingkan ini sebenarnya tidak aku harapkan muncul, namun ternyata secara natural perasaan ini muncul dan semakin besar dari sebelumnya jika tidak segera dihentikan.

            Aku pikir tidak hanya aku yang merasakan perasaan seperti ini. Di luar sana aku yakin ada banyak teman-teman mahasiswa lainnya yang juga merasakan hal yang sama. Kadang aku juga lupa bahwa ternyata teman-teman ku yang lain, mungkin ingin berada di posisiku. Meski aku masih di bab awal, menurut mereka (mungkin) itu lebih baik. Karena beberapa dari mereka masih ada yang tidak tahu judul penelitiannya, masih ada masalah yang harus diselesaikan terlebih dahulu dan masih banyak lagi. Kalau sudah sadar begini, maka sering-sering bersyukur supaya hidup jadi lebih tenang dan legowo.

“Pelan-pelan saja, lambat belum tentu kalah dari tujuan. Finish setiap orang berbeda. Nikmati saja dulu keadaan ini. Esok kita tidak pernah tahu pasti apa yang terjadi.” – Diyah Deviyanti

            Aku pikir pandemi tidak selamanya berakhir mengenaskan, selama kita mau lebih bijaksana dan bersabar dalam menelaah kehidupan. Bagiku juga tidak ada tahun yang buruk atau tahun yang baik, semua sama. Ada bahagia dan ada duka di semua tahun. Ada kalanya memang dukanya lebih banyak daripada bahagianya dan sebaliknya. Sampai di titik ini juga aku jadi mengerti bahwa di umur ini, semua realita kehidupan mulai tampak dan suka menampar diri sendiri. Dan yang lebih penting dari seluruh cerita di atas adalah biarkan dirimu bebas. Bebas merasa sedih, senang, bingung dan biarkan saja terungkap. Biarkan perasaan yang sedang kita alami muncul, tidak perlu ditahan. Tidak ada utungnya menipu hati karena hati tidak bisa berbohong. Menangis, sedih, stres atau bingung itu perasaan normal dan tidak bisa diindikasikan sebagai manusia lemah. Pada nyatanya dengan menangis, hati lebih lega dan mampu menemukan jalan untuk bangkit.

Hidup di tahun pandemi juga tidak mudah. Memang pandemi memaksa kita untuk jauh dari orang lain, tapi tetaplah berkomunikasi dan jangan dihilangkan. Bagaimanapun juga terlalu berlarut pada kesendirian tidaklah baik. Kita butuh berkomunikasi untuk meredakan stres dan untuk mencintai diri sendiri. Semoga harimu dan tahun ini menjadi tahun untuk beradaptasi dan belajar sesuatu yang baru. Salam hangat dariku. J

Comments