Blog Archive

Labels

Advertisement

Report Abuse

Popular Posts

FOLLOW US @ INSTAGRAM

About Me

NEW POST!

Popular Posts

Skip to main content

CINTA BAYU : Abang Tukang Bakso



Matahari tersenyum menyinari dunia ini. Langit lazuardi sekejap menampakkan diri membuat sejuk di hati. Burung-burung bersiulan memecah hening dan sepi, menemani Sang Surya yang tak pernah bosan menampakkan diri.

            Aku terbangun merasakan kehangatan menerpa pipiku. Ku kejap-kejapkan mataku, namun aneh pipiku semakin lama semakin panas. Dan ternyata..

            “GAK NGAMPUS HAH?!” Ibuku melotot sambil membawa segelas susu coklat panas di tangannya.

            JAM PIRO IKI?! NJALUK DISIRAM GAWE SUSU IKI A? Jam berapa ini? Mau disiram dengan susu ini? ” Ku lirik asapnya masih mengepul dari gelas itu. Aku terbangun ketakutan.

            TANGI! Bangun!”

            Aku lari terbirit-birit ke dalam kamar mandi, sebelum nyonya besar semakin meledak. Secepat kilat mungkin aku mandi dan ganti baju, lalu aku sarapan seadanya. Berpamitan dan menancap gas sepeda, lalu berangkat ke kampus.

-cinta bayu-

            Alhamdulillah hari ini kegiatan perkuliahan berjalan dengan lancar. Bagaimana gak lancar, orang aku baru ingat kalau sekarang libur semester. Ibuku juga yang sok tau, dikira aku gak ada hari libur kali ya. Setelah aku menyadari bahwa ternyata aku libur, yah meskipun udah sampai di parkiran juga sih, aku langsung cabut ke studio tempat kami berlatih.

            Sesampainya di sana, teman-teman menyambutku dengan bahagia. Mereka senang karena aku tidak datang telat lagi. Justru aku hadir lebih awal, jadi kita bisa menyelesaikan lebih awal juga.

            Waktu lima jam tidak akan terasa, apabila kita melewati waktu bersama teman-teman kita. Itu adalah teori yang sangat masuk akal. Meskipun kami latihan, tidak menutup kemungkin kalau kami bercanda terus-terusan. Dan.. tidak menutup kemungkinan bagiku untuk saling bertatap dengan Bata. Dan itu tidak sebentar. Kami juga saling bertukar senyum dan entah bagaimana, aku suka melihatnya.

-cinta bayu-

            “Eh, aku duluan yaa. Udah dicariin mama nih! Bye!” Pamit Rere.

            “Dianter siapa, Re?” Tanyaku. Maklum, Rere gak bisa bawa sepeda. Jadi, kalau gak nebeng ya naik ojek.

            “Bareng Jaka kok! Duluan yaa, sampai ketemu besok! Dah semuanya.” Mereka berdua melenggang pergi.

            “Gue cabut juga ya, mau ngelanjutin nge game gue.”

            “Hel, ikut dong. Udah lama nih gak main game.”

            “Sabi lah ayo.. Eh, Pevita! Kita balik dulu ya. Sampai jumpa besok! Ati-ati di jalan, banyak orang!”

            “Lha terus kenapa?” Tanya Dion.

            “Gak rela Pevita gue diambil orang lain. Nanti band ini ga ada yang doyan lagi.”

            “JAHAT LO! Dasar! Sana pergi!” Usir ku lalu tertawa.

            “Duluan ya guys..” Mereka ikut melenggang pergi.

            Dan.. di sinilah kami. Berdua bersamanya, lagi.

            “Ayu, mau ke mana?”

            “Mau makan, Ta. Laper aku tuh..”

            “Makan di mana?”

            “Gak tau. Kenapa?” Aku menghentikan kalimatku selanjutnya. Ku baca garis wajahnya.

            Lalu ku lanjutkan, sambil mengontrol emosi yang tiba – tiba ingin meledak. Meledak kesenengan hahaha.

            “Mau ikut?” Tanyaku tanpa sedikit pun tersenyum kepadanya.

            Malu. Ah.. aku malu jadinya. Ingin meledak tapi harus ditahan hmm…
            Bata tersenyum menatapku, mau tidak mau aku juga ikut senyum. JJJ

            “Boleh?” Tanyanya seperti menggodaku.

            “Boleh dong! Yuk!” Jawabku penuh semangat.

            “Mau makan di mana tapi?”

            “Kamu mau bakso gak? Di deket sini ada orang jual bakso, katanya sih enak.”

            “Oke. Kita ke sana.”

            Dua menit kemudian, kita pergi membelah keriuhan jalan raya mencari tukang bakso.

-cinta bayu-

           “Mas baksonya campur dua ya.”

           “Siap laksanakan mbak!”

Sambil menunggu baksonya siap, kami duduk di kursi yang disediakan tukang bakso. Bakso ini berjualan di pinggir jalan dengan kursi yang terbatas. Untung saja, saat itu tidak ada pengunjung selain kami. Jadi, tidak perlu menunggu giliran untuk makan bakso di tempat.

“Ini mbak mas baksonya.”

“Makasih, Mas”

Segera aku menambahkan sambal dan kecap sebagai pelengkap. Bata juga begitu, justru dia sepertinya doyan sekali makan pedas. Sambalnya saja sudah tiga sendok. Kami langsung menyantapnya tanpa ragu. Dan memang benar kata orang, bakso ini enak sekali.

“Enak ya, Ta!”

Bata mengangguk seadanya. Cukup lama kami berfokus pada makanan. Bata memulai pembicaraan.

“Yu, cita-cita kamu apa?”

Aku diam sambil mengunyah bakso di mulutku. Aku mengernyit menatap dia.

“Kenapa emang?”

“Gapapa, pengen tahu aja. Gak boleh ya?”

“Boooleh kok.”

“Tapi, aku malu sih mau ngomongin cita-citaku.”

“Emang apa?”

“Jadi istri soleha, Ta.”

Kami berpandangan. Bata serius menatapku lamat-lamat.
Lalu tawaku meledak. Bata yang mukanya serius jadi ikut tersenyum melihatku tertawa.

“Wajah kamu tuh. Hahaha... serius banget. Kayak kaget banget gitu yaa.. hahaha..”

“Jadi tadi bercanda doang?”

“Hahaha...”

“Padahal udah terlanjur aku aminin.”

Aku terdiam seribu bahasa sambil menatap dia.

“Ya, gak ada salahnya juga buat jadi istri soleha. Bener gak, Bang?”

“Iya, Mas. Mantul!”

Aku mengangguk-angguk dan melanjutkan makan bakso. Untuk memecah keheningan, aku mengajak ngobrol Abang tukang bakso. Ku lihat dia lelah sekali, peluhnya memenuhi wajahnya. Mungkin itu akibat dari terkaan asap bakso yang tak berhenti mengepul mengenai wajahnya, bajunya juga sudah lusuh, seperti meminta dicuci. Ku lihat baksonya sisa cukup banyak.

“Bang, cita-citanya dulu apa?”

“Waduh.” Jawabnya lalu terdiam cukup lama. Sepertinya pertanyaanku terlalu berat buat dia.

“Dulu itu mbak, saya gak tau cita-cita saya apa. Bapak dan ibu saya siapa saja saya tidak tahu. Yah, untung-untunglah saya diajak orang baik waktu sudah besar. Diajak buat bakso, ya besarnya jadi jualan bakso.. cita-cita itu opo seh mbak? Saya gak tau!”

“Cita-cita itu mimpi, Mas.”

“Ooh.. kalau mimpi saya tahu. Biasanya kalau malam, saya mimpi power rangers jualan bakso!”

“Lo? Sanes niku, Sam! Bukan itu, Mas!” Sergah Bata.

Lha sing endi? Lalu yang mana?

Aku dan Bata tertawa tipis – tipis.

“Ya udah, Mas. Jangan dipikir. Nanti samean stress!” Aku menengahi

“Loo lha kalau mimpinya begitu yo seneng saya. Enak gak usah bangun, biar power ranges aja yang  jualan.”

“Hahaha...” Kami berdua tertawa.

“Kalau kamu, Ta? Cita-cita mu apa?”

“Hmm.. apa ya?”

Aku mengunyah bakso sambil menunggu jawabannya.

“Cita-citaku mau jadi menantunya Ibu.”

“Ibu siapa? Ibu pacar kamu?Aku mengernyitkan dahiku. Sambil pura-pura biasa aja.

“Ibu mu, boleh gak?”

Aku terdiam seribu bahasa. Lalu tersenyum seadanya.

“Ayolah, Yu.. jangan terbuai, Yu.. jangan terbuai”

-cinta bayu-

Sepanjang perjalanan pulang, aku masih diam seribu bahasa. Kepalaku tak henti-hentinya berlari memutari perkataan Bata tadi. Aku masih tidak menyangka Bata berkata demikian. Ku kira itu hanya candaan belaka, tapi sampai obrolan kami berakhir. Tak ada satu pun teka-teki yang mengatakan dia sedang bercanda. Apalagi, baksonya tadi dibayarin sama Bata. Aku jadi semakin terjebak di ketidakpastian ini.

Sesampainya di rumah, aku langsung merebahkan diri di atas kasur. Menatap langit-langit kamar, lalu sekali lagi kepalaku pergi menelusuri jawaban dari Bata. Suaranya saja masih terngiang-ngiang di kepalaku. Bata kamu tuh ya, memang...

Line!

Aku membuka handphone ku. Bata mengirimi sebuah pesan.

Bata : “Yu.. udah sampai?”
Aku : “Udah. Barusan. Why?”
Bata : “Gapapa. Jangan lupa sholat ya.”
Aku : “Kenapa emang?”
Bata : “Katanya mau jadi istri soleha..”
Lalu muncul emot tertawa.
Aku : “Dasar!”

Aku jadi tersenyum-senyum sendiri malam itu. Aku ambil boneka di kasurku, lalu ku peluk dan membenamkan wajahku yang mendadak memerah. Bata kamu membuatku rindu.

-to be continued-

Comments