Matahari tersenyum menyinari dunia ini. Langit lazuardi
sekejap menampakkan diri membuat sejuk di hati. Burung-burung bersiulan memecah
hening dan sepi, menemani Sang Surya yang tak pernah bosan menampakkan diri.
Aku terbangun merasakan
kehangatan menerpa pipiku. Ku kejap-kejapkan mataku, namun aneh pipiku semakin
lama semakin panas. Dan ternyata..
“GAK NGAMPUS HAH?!” Ibuku melotot sambil membawa segelas susu coklat panas di tangannya.
“JAM PIRO IKI?! NJALUK DISIRAM GAWE SUSU IKI A? Jam berapa ini? Mau disiram
dengan susu ini? ” Ku lirik asapnya masih mengepul dari gelas itu. Aku
terbangun ketakutan.
“TANGI! Bangun!”
Aku lari terbirit-birit ke
dalam kamar mandi, sebelum nyonya besar semakin meledak. Secepat kilat mungkin aku mandi dan ganti baju, lalu aku
sarapan seadanya. Berpamitan dan menancap gas sepeda, lalu
berangkat ke kampus.
-cinta bayu-
Alhamdulillah hari ini
kegiatan perkuliahan berjalan dengan lancar. Bagaimana gak lancar, orang aku
baru ingat kalau sekarang libur semester. Ibuku juga yang sok tau, dikira aku
gak ada hari libur kali ya. Setelah aku menyadari bahwa ternyata aku libur, yah
meskipun udah sampai di parkiran juga sih, aku langsung cabut ke studio tempat
kami berlatih.
Sesampainya di sana,
teman-teman menyambutku dengan bahagia. Mereka senang karena aku tidak datang
telat lagi. Justru aku hadir lebih awal, jadi kita bisa menyelesaikan lebih
awal juga.
Waktu lima jam tidak akan
terasa, apabila kita melewati waktu bersama teman-teman kita. Itu adalah teori
yang sangat masuk akal. Meskipun kami latihan, tidak menutup kemungkin kalau
kami bercanda terus-terusan. Dan.. tidak menutup kemungkinan bagiku untuk
saling bertatap dengan Bata. Dan itu tidak sebentar. Kami juga saling bertukar
senyum dan entah bagaimana, aku suka melihatnya.
-cinta bayu-
“Eh, aku duluan yaa. Udah
dicariin mama nih! Bye!” Pamit Rere.
“Dianter siapa, Re?”
Tanyaku. Maklum, Rere gak bisa bawa sepeda. Jadi, kalau gak nebeng ya naik
ojek.
“Bareng Jaka kok! Duluan
yaa, sampai ketemu besok! Dah semuanya.” Mereka berdua melenggang pergi.
“Gue cabut juga ya, mau
ngelanjutin nge game gue.”
“Hel, ikut dong. Udah lama
nih gak main game.”
“Sabi lah ayo.. Eh,
Pevita! Kita balik dulu ya. Sampai jumpa besok! Ati-ati di jalan, banyak
orang!”
“Lha terus kenapa?” Tanya
Dion.
“Gak rela Pevita gue
diambil orang lain. Nanti band ini ga ada yang doyan lagi.”
“JAHAT LO! Dasar! Sana
pergi!” Usir ku lalu tertawa.
“Duluan ya guys..” Mereka
ikut melenggang pergi.
Dan.. di sinilah kami.
Berdua bersamanya, lagi.
“Ayu, mau ke mana?”
“Mau makan, Ta. Laper aku
tuh..”
“Makan di mana?”
“Gak tau. Kenapa?” Aku
menghentikan kalimatku selanjutnya. Ku baca garis wajahnya.
Lalu ku lanjutkan, sambil
mengontrol emosi yang tiba – tiba ingin meledak. Meledak kesenengan
hahaha.
“Mau ikut?” Tanyaku tanpa
sedikit pun tersenyum kepadanya.
Malu. Ah.. aku malu
jadinya. Ingin meledak tapi harus ditahan hmm…
Bata tersenyum menatapku,
mau tidak mau aku juga ikut senyum. JJJ
“Boleh?” Tanyanya seperti
menggodaku.
“Boleh dong! Yuk!” Jawabku penuh semangat.
“Mau makan di mana tapi?”
“Kamu mau bakso gak? Di
deket sini ada orang jual bakso, katanya sih enak.”
“Oke. Kita ke sana.”
Dua menit kemudian, kita
pergi membelah keriuhan jalan raya mencari tukang bakso.
-cinta bayu-
“Mas baksonya campur dua ya.”
“Siap laksanakan mbak!”
Sambil menunggu baksonya siap, kami duduk di kursi yang
disediakan tukang bakso. Bakso ini berjualan di pinggir jalan dengan kursi yang
terbatas. Untung saja, saat itu tidak ada pengunjung selain kami. Jadi, tidak
perlu menunggu giliran untuk makan bakso di tempat.
“Ini mbak mas baksonya.”
“Makasih, Mas”
Segera aku menambahkan sambal dan kecap sebagai
pelengkap. Bata juga begitu, justru dia sepertinya doyan sekali makan pedas.
Sambalnya saja sudah tiga sendok. Kami langsung menyantapnya tanpa ragu. Dan memang benar kata orang, bakso ini enak sekali.
“Enak ya, Ta!”
Bata mengangguk seadanya. Cukup lama kami berfokus pada
makanan. Bata memulai pembicaraan.
“Yu, cita-cita kamu apa?”
Aku diam sambil mengunyah bakso di mulutku. Aku
mengernyit menatap dia.
“Kenapa emang?”
“Gapapa, pengen tahu aja. Gak boleh ya?”
“Boooleh kok.”
“Tapi, aku malu sih mau ngomongin cita-citaku.”
“Emang apa?”
“Jadi istri soleha, Ta.”
Kami berpandangan. Bata
serius menatapku lamat-lamat.
Lalu tawaku meledak. Bata yang mukanya serius jadi ikut
tersenyum melihatku tertawa.
“Wajah kamu tuh. Hahaha... serius banget. Kayak kaget
banget gitu yaa.. hahaha..”
“Jadi tadi bercanda doang?”
“Hahaha...”
“Padahal udah terlanjur aku aminin.”
Aku terdiam seribu
bahasa sambil menatap dia.
“Ya, gak ada salahnya juga buat jadi istri soleha. Bener
gak, Bang?”
“Iya, Mas. Mantul!”
Aku mengangguk-angguk dan melanjutkan makan bakso. Untuk
memecah keheningan, aku mengajak ngobrol Abang tukang bakso. Ku lihat dia lelah
sekali, peluhnya memenuhi wajahnya. Mungkin itu akibat dari terkaan asap bakso
yang tak berhenti mengepul mengenai wajahnya, bajunya juga sudah lusuh, seperti
meminta dicuci. Ku lihat baksonya sisa cukup banyak.
“Bang, cita-citanya dulu apa?”
“Waduh.” Jawabnya lalu terdiam cukup lama. Sepertinya
pertanyaanku terlalu berat buat dia.
“Dulu itu mbak, saya gak tau cita-cita saya apa. Bapak
dan ibu saya siapa saja saya tidak tahu. Yah, untung-untunglah saya diajak
orang baik waktu sudah besar. Diajak buat bakso, ya besarnya jadi jualan
bakso.. cita-cita itu opo seh mbak? Saya gak tau!”
“Cita-cita itu mimpi, Mas.”
“Ooh.. kalau mimpi saya tahu. Biasanya kalau malam, saya
mimpi power rangers jualan bakso!”
“Lo? Sanes niku,
Sam! Bukan itu, Mas!” Sergah Bata.
“Lha sing endi? Lalu
yang mana?”
Aku dan Bata tertawa tipis – tipis.
“Ya udah, Mas. Jangan dipikir. Nanti samean stress!” Aku menengahi
“Loo lha kalau mimpinya begitu yo seneng saya. Enak gak
usah bangun, biar power ranges aja yang
jualan.”
“Hahaha...” Kami berdua tertawa.
“Kalau kamu, Ta? Cita-cita mu apa?”
“Hmm.. apa ya?”
Aku mengunyah bakso sambil menunggu jawabannya.
“Cita-citaku mau jadi menantunya Ibu.”
“Ibu siapa? Ibu pacar kamu?” Aku mengernyitkan
dahiku. Sambil pura-pura
biasa aja.
“Ibu mu, boleh gak?”
Aku terdiam seribu bahasa. Lalu tersenyum seadanya.
“Ayolah,
Yu.. jangan terbuai, Yu.. jangan terbuai”
-cinta bayu-
Sepanjang perjalanan pulang, aku masih diam seribu
bahasa. Kepalaku tak henti-hentinya berlari memutari perkataan Bata tadi. Aku
masih tidak menyangka Bata berkata demikian. Ku kira itu hanya candaan belaka,
tapi sampai obrolan kami berakhir. Tak ada satu pun teka-teki yang mengatakan
dia sedang bercanda. Apalagi, baksonya tadi dibayarin sama Bata. Aku jadi
semakin terjebak di ketidakpastian ini.
Sesampainya di rumah, aku langsung merebahkan diri di
atas kasur. Menatap langit-langit kamar, lalu sekali lagi kepalaku pergi
menelusuri jawaban dari Bata. Suaranya saja masih terngiang-ngiang di kepalaku.
Bata kamu tuh ya, memang...
Line!
Aku membuka handphone ku. Bata mengirimi sebuah pesan.
Bata
: “Yu..
udah sampai?”
Aku
: “Udah.
Barusan. Why?”
Bata
: “Gapapa.
Jangan lupa sholat ya.”
Aku : “Kenapa emang?”
Bata : “Katanya mau jadi istri soleha..”
Lalu muncul emot tertawa.
Aku
: “Dasar!”
Aku jadi tersenyum-senyum sendiri malam itu. Aku ambil
boneka di kasurku, lalu ku peluk dan membenamkan wajahku yang mendadak memerah.
Bata kamu membuatku rindu.
-to be continued-
Comments
Post a Comment