Blog Archive

Labels

Advertisement

Report Abuse

Popular Posts

FOLLOW US @ INSTAGRAM

About Me

NEW POST!

Popular Posts

Skip to main content

Cantik, tapi...

 


“Cinta yang menemukan jalannya dengan sukarela, menerima apa adanya.”

-          Najelaa Shihab

 

Sebagai seorang perempuan aku ingin sekali bersuara perihal kecantikan. Berkali-kali terpintas di pikiran serta kehidupan entah itu dunia maya atau nyata, hal-hal yang cukup membuatku kesal sebagai perempuan. Ketika perempuan hanyalah sebuah objek, tak jarang kecantikan menjadi ajang perlombaan. Perawatan pun ikut menjadi ajang menaikkan status sosial.

Ketika orang bilang, “cantik itu pipinya tirus.” Di satu sisi orang bilang, “jangan terlalu tirus kamu seperti kerangka yang tinggal tulang.” Ada juga yang berkata, “cantik itu langsing.” Namun, “jangan terlalu langsing keliatan kurang gizi.” Ada juga orang berkata, “cewek rambut lurus itu cantik.” Tapi, “rambut kamu lurus tapi kok dikit ya, kamu sakit?” Di lain tempat,”cantik itu kalau kulitnya putih, glowing dan lembab.” Dan lagi-lagi, “Kulit kamu pucat banget sih..”

Hmmm susah ya jadi perempuan cantik di mata duniawi. Ketika eksistensi perempuan diakui hanya sekedar cantik secara visual, gak perlu kaget kalau banyak perempuan merasa depresi sampai akhirnya rela mengakhiri hidup. Sayangnya, ungkapan-ungkapan itu juga keluar dari kami, sesama perempuan. Sedih ya, sebagai sesama perempuan seharusnya kita bersatu bergandengan tangan untuk saling menjaga dan mencintai perbedaan apa adanya tanpa perlu menghakimi bahkan merasa tersaingi.

Perkembangan teknologi yang semakin maju dan muncul banyak inovasi-inovasi baru ternyata menyimpan ‘neraka’ tersendiri bagi manusia. Bagi seorang perempuan (aku), ternyata bermain sosial media membuatku lebih sadar dan berhati-hati dalam mengontrol emosi. Gak sedikit yang menunjukkan betapa cantik dan sempurnanya kehidupan mereka di sosial media. Dan tidak sedikit pula yang merasa terpuruk karena merasa berbeda dari mereka yang terlihat sempurna.

Hatiku semakin sedih ketika aku menyadari bahwa anak seusia 13 tahun yang setara SD/SMP/SMA yang masih dalam masa pertumbuhan dan perkembangan harus dihadapkan dengan standar kecantikan yang tiada hentinya menerpa. Bayangkan, diusia mereka yang harusnya aktif dan fokus untuk tumbuh dan berkembang menjadi terbuang karena sibuk mengurus rasa cemas karena bentuk badan yang tidak sempurna. Sibuk diet ini itu hanya untuk mendapat likes dan pujian dari orang yang belum tentu tahu kehidupan kita.

Pengalamanku menjadi korban body shamming di antara keluargaku dari kecil mengajariku banyak hal tentang kehidupan. Meski demikian, aku tidak rela jika orang terdekatku seperti adikku merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan. Hidup dengan gangguan kecemasan itu tidak enak dan tidak tenang. Aku pun tidak ingin adikku atau perempuan lain merasakan hal yang sama.

Coba bayangkan, ketika dunia ini membutuhkan generasi penerus namun generasi-generasi muda kita hidup penuh dengan depresi dan kecemasan. Ini masih perihal cantik secara visual, belum kita berjalan ke ranah status sosial. Apa iya kita masih tega berbuat demikian? Mengapa cinta yang harusnya kita jalin sesama manusia harus melalui luka? Harus membuat orang lain sedih? Mengapa lelucon gendut, kurus, jerawatan, kribo, dan segalanya harus menjadi lelucon yang beresensi? Mengapa kita menolak lelucon yang baik dan lebih memilih yang negatif? Apakah semakin banyak orang tertawa menandakan kita orang yang ahli berkomedi? Hey, kita bukan komedian!

Jika cantik secara visual selamanya menjadi tolak ukur eksistensi perempuan, aku mundur. Karena cantik bukan perihal visual saja, namun cantik juga termasuk prestasi. Cantik adalah kekuatan. Cantik adalah ibu rumah tangga. Cantik adalah senyum ibu pedagang kaki lima. Cantik adalah sopan santun berkomunikasi. Cantik adalah beribadah melalui untaian senyum. Cantik adalah bukti bakti kepada orang tua. Cantik adalah kasih sayang tanpa pamrih. Cantik adalah guru. Cantik adalah ojol perempuan di tengah badai gerimis dan tsunami panas. Cantik adalah kebaikan. Cantik adalah aku. Cantik adalah kita.

Cantik bukanlah perlombaan, tapi perjuangan.

Comments