“Cinta yang menemukan jalannya
dengan sukarela, menerima apa adanya.”
-
Najelaa Shihab
Sebagai seorang perempuan aku ingin sekali bersuara
perihal kecantikan. Berkali-kali terpintas di pikiran serta kehidupan entah itu
dunia maya atau nyata, hal-hal yang cukup membuatku kesal sebagai perempuan. Ketika
perempuan hanyalah sebuah objek, tak jarang kecantikan menjadi ajang
perlombaan. Perawatan pun ikut menjadi ajang menaikkan status sosial.
Ketika orang bilang, “cantik itu pipinya tirus.” Di satu
sisi orang bilang, “jangan terlalu tirus kamu seperti kerangka yang tinggal
tulang.” Ada juga yang berkata, “cantik itu langsing.” Namun, “jangan terlalu
langsing keliatan kurang gizi.” Ada juga orang berkata, “cewek rambut lurus itu
cantik.” Tapi, “rambut kamu lurus tapi kok dikit ya, kamu sakit?” Di lain
tempat,”cantik itu kalau kulitnya putih, glowing
dan lembab.” Dan lagi-lagi, “Kulit kamu pucat banget sih..”
Hmmm susah ya jadi perempuan cantik di mata duniawi. Ketika
eksistensi perempuan diakui hanya sekedar cantik secara visual, gak perlu kaget
kalau banyak perempuan merasa depresi sampai akhirnya rela mengakhiri hidup. Sayangnya,
ungkapan-ungkapan itu juga keluar dari kami, sesama perempuan. Sedih ya, sebagai sesama perempuan seharusnya kita
bersatu bergandengan tangan untuk saling menjaga dan mencintai perbedaan apa
adanya tanpa perlu menghakimi bahkan merasa tersaingi.
Perkembangan teknologi yang semakin maju dan muncul
banyak inovasi-inovasi baru ternyata menyimpan ‘neraka’ tersendiri bagi
manusia. Bagi seorang perempuan (aku), ternyata bermain sosial media membuatku
lebih sadar dan berhati-hati dalam mengontrol emosi. Gak sedikit yang
menunjukkan betapa cantik dan sempurnanya kehidupan mereka di sosial media. Dan
tidak sedikit pula yang merasa terpuruk karena merasa berbeda dari mereka yang
terlihat sempurna.
Hatiku semakin sedih ketika aku menyadari bahwa anak
seusia 13 tahun yang setara SD/SMP/SMA yang masih dalam masa pertumbuhan dan
perkembangan harus dihadapkan dengan standar kecantikan yang tiada hentinya
menerpa. Bayangkan, diusia mereka yang harusnya aktif dan fokus untuk tumbuh
dan berkembang menjadi terbuang karena sibuk mengurus rasa cemas karena bentuk
badan yang tidak sempurna. Sibuk diet ini itu hanya untuk mendapat likes dan pujian dari orang yang belum
tentu tahu kehidupan kita.
Pengalamanku menjadi korban body shamming di antara keluargaku dari kecil mengajariku banyak
hal tentang kehidupan. Meski demikian, aku tidak rela jika orang terdekatku
seperti adikku merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan. Hidup dengan
gangguan kecemasan itu tidak enak dan tidak tenang. Aku pun tidak ingin adikku
atau perempuan lain merasakan hal yang sama.
Coba bayangkan, ketika dunia ini membutuhkan generasi
penerus namun generasi-generasi muda kita hidup penuh dengan depresi dan
kecemasan. Ini masih perihal cantik secara visual, belum kita berjalan ke ranah
status sosial. Apa iya kita masih tega berbuat demikian? Mengapa cinta yang
harusnya kita jalin sesama manusia harus melalui luka? Harus membuat orang lain
sedih? Mengapa lelucon gendut, kurus, jerawatan, kribo, dan segalanya harus
menjadi lelucon yang beresensi? Mengapa kita menolak lelucon yang baik dan
lebih memilih yang negatif? Apakah semakin banyak orang tertawa menandakan kita
orang yang ahli berkomedi? Hey, kita bukan
komedian!
Jika cantik secara visual selamanya menjadi tolak ukur
eksistensi perempuan, aku mundur. Karena cantik bukan perihal visual saja, namun
cantik juga termasuk prestasi. Cantik adalah kekuatan. Cantik adalah ibu rumah
tangga. Cantik adalah senyum ibu pedagang kaki lima. Cantik adalah sopan santun
berkomunikasi. Cantik adalah beribadah melalui untaian senyum. Cantik adalah
bukti bakti kepada orang tua. Cantik adalah kasih sayang tanpa pamrih. Cantik adalah
guru. Cantik adalah ojol perempuan di tengah badai gerimis dan tsunami panas. Cantik
adalah kebaikan. Cantik adalah aku. Cantik adalah kita.
Cantik bukanlah perlombaan, tapi perjuangan.
Comments
Post a Comment